Untuk Mendukung Blog Ini Klik Salah Satu Iklan Yang Tayang. DONASI DISINI

Cerita Motivasi Patah Hati "Kelak Kita Cerita Tentang Hari Ini”

Cerita Motivasi Patah Hati "Kelak Kita Cerita Tentang Hari Ini”. - Sebelum saya memulai sebuah ceritanya, untukkalian yang akan membaca cerita ini saya berharap kalian sambi mendengarkan sebuah instrument relax penyejuk hati mengguna headset agar feelnya lebih dapat, selamat membaca.

Cerita 

Di saat kamu merasa patah hati, mungkin kamu merasa semesta tidak berpihak padamu. Saat bercerita pun, tidak semua orang bisa paham atau bahkan kamu bingung kemana harus berbagi cerita. Sayangnya, hanya sedikit motivasi patah hati yang benar-benar mengerti kamu.

Pada akhirnya kamu memilih untuk diam saja hingga merasa kamulah yang paling menderita. Dear, setiap orang pernah patah hati. Kamu tidak perlu merasa menjadi yang paling patah dan sendiri karena tidak ada yang mengerti.

Bangkit Lanjutkan Hidup, Ini Pengalaman Saya Putus Cinta dan Akhirnya Move On Dari Dia Masa Lalu Ku

Tak hanya Anda, tentu semua perempuan—dan manusia—pernah merasakan yang namanya patah hati akibat putus cinta-ditinggal atau meninggalkan mantan. Perlu ditekankan dari awal bahwa Anda tidak sendrian, karena saya—dan juga perempuan lain—pernah mengalaminya. 

Ini kisah saya, pahit-manis putus cinta yang saya sadari kini hanyalah sebuah fase dalam hidup yang—cepat atau lambat—akan terlewati, dengan kemauan Anda sendiri. Karena hidup itu pilihan. #HelawMantan I’m back! Namun, bukan untuk balikan, melainkan untuk kembali menceritakan kejadian masa lalu kepada Anda, sekaligus berbagi, siapa tahu bisa menginspirasi.

Kelulusan SMA seharusnya menjadi salah satu momen paling membahagiakan, tetapi tidak bagi saya 10 tahun lalu. Saat itu usia saya masih belia, 18 tahun, lulus dari sekolah unggulan di Jakarta, dan siap masuk universitas. Saya tak bisa menyalahkan kejadian ini memengaruhi kesempatan untuk masuk universitas unggulan idaman saya di Bandung, tetapi putus cinta benar-benar memengaruhi hidup saya saat itu

Singkat cerita, saya punya pacar—saat itu—yang sudah menjalin hubungan sekitar 1,5 tahun. Kami bersama-sama merencanakan untuk kuliah di fakultas kedokteran di ibu kota Jawa Timur, tetapi nyatanya, dia lulus ujian dan saya tidak. Namun, tak hanya itu, bagaikan kejatuhan durian—enak atau sakit sih, tergantung dari perspektif mana Anda melihatnya—saya baru mengetahui fakta bahwa pacar saya tengah dekat dengan teman saya, yang juga mengikuti tes dan menghabiskan waktu bersama saya saat pekan ujian di Surabaya.

Hari-hari berlalu, saya berusaha menolak kenyataan sampai akhirnya hari itu pun tiba. Pacar saya—yang kini sudah jadi mantan—meminta putus dengan alasan sudah ada perempuan lain di hatinya. What the...?! 

Lagi-lagi saya masih berusaha mengelak alias pura-pura ‘gila’ dan berusaha memintanya untuk rujuk dengan saya. Namun, tak berhasil. Because he’s just not that into me or as simple as, he just didn’t deserve me and God loves me more. Di hari-H putus cinta pada Juli 2009 silam—tepat beberapa hari setelah anniversary kami, kejam ya!—saya ingat betul di sebuah parkiran mal—saya menangis tanpa henti dengan penuh drama, 

tetapi akhirnya berusaha tegar mengiyakan keputusan sepihaknya, sambil membuang beberapa barang pemberiannya di depan matanya. Ada satu hal lain yang saya lakukan padanya saat itu—yang tak bisa saya sebutkan—yang membuat saya merasa bangga akan keberanian dan ketangguhan saya sendiri. After that, days wouldn’t be the same anymore. Di hari wisuda, setelah upacara pelepasan siswa/i SMA, saya justru merasa sedih dan menangis seharian di kamar.

Hari-hari berlalu, tak lama setelah kejadian itu, saya resmi menjadi seorang mahasiswi. Meskipun saya tak lolos masuk universitas negeri idaman saya—no offense—saya tetap berkesempatan kuliah di Kota Kembang kesayangan di universitas negeri lainnya, yang akhirnya tak pernah saya sesali dan justru sangat saya syukuri.

Tak mudah memang menjalani hari-hari tanpa pesan singkat—iya, masih SMS, karena waktu itu bahkan BBM baru mulai melejit—atau telepon darinya. Pulang-pergi ke kampus dengan suasana baru dan teman baru juga menjadi tak mudah bagi saya yang kerap terhanyut dalam zona nyaman sebelumnya. 



Naik angkot ke kampus mendengarkan lagu sedih, pulang ke tempat indekos juga sama. Mau tidur juga playlist di handphone hampir sama, isinya lagu-lagu kenangan bersama mantan—atau lagu-lagu yang dicocokkan dengan kondisi Anda dan sang mantan saat ini atau saat masih jadian dulu. Hayo ngaku, siapa yang juga alami hal seperti ini? Belum lagi kepo-in media sosial—untungnya saat itu hanya Facebook yang hits—sang mantan dan selingkuhan alias pujaan hatinya atau apapun sebutannya yang juga—perlu ditegaskan sekali lagi—adalah teman saya.

Namun, waktu dan tekad saya berkata lain. Saya bertemu dengan teman-teman baru—dan juga jodoh yang menjadi suami saya saat ini. Sama-sama menjadi anak rantau saat itu, banyak hal baru yang saya lewati bersama mereka. Tanpa sadar, teman-teman dan aktivitas saya sehari-hari membuat pikiran tentang sang mantan terkikis secara perlahan. Well, saya memang berusaha untuk menyibukkan diri dengan beragam aktivitas—mulai dari yang penting, sampai yang enggak penting alias random—biar saat sampai tempat indekos saya bisa langsung tidur, tanpa punya waktu untuk memikirkan hal-hal tentang sang mantan apalagi mendengarkan lagu-lagu galau. 

Saya kuliah dari pagi hingga siang atau kadang sore, hangout, mencicipi sajian di berbagai cafe, terlibat dalam organisasi dan unit kegiatan mahasiswa, belajar kelompok, menanyakan rate berbagai hotel kece di Bandung bersama teman—iya, se-random itu, padahal tak berniat menginap—karaoke, atau sekadar ngobrol bersama di indekos teman. Saya juga memperlancar kemampuan menyetir saya—yang awalnya juga dilatih oleh si mantan, thanks lho!—dengan rutin mengantar kakak saya ke kantor di pagi hari sambil meminjam mobilnya. Well done, kini saya jadi jago nyetir lho!—nyombong. 

Tak lupa juga, saya kerap menghabiskan me time, salah satunya makan di cafe atau kedai tertentu sendirian, just because I want to. And guess what? It really works!

Tanpa sadar kebiasaan dan rutinitas sehari-hari saya pun ikut berubah. Dari yang biasanya perjalanan ke kampus mendengarkan lagu-lagu penuh kenangan mantan—sebut saja lagu Jikalau-nya Naif yang di-cover The Adams hingga It Might Be You dari Stephen Bishop.. ehm, 

agak random ya!—saya justru mengubah playlist menjadi lagu-lagu kesukaan saya yang juga tanpa sadar membangkitkan semangat. Lagu Sementara dari Float—meskipun masih agak galau, tetapi ada kalimat motivasinya sedikitlah ya, dan lagu ini punya arti tersendiri bagi hidup saya, well, another story—Fix You dari Coldplay, Such Great Heights dari The Postal Service, hingga Hidup Itu Indah-nya Naif yang versi Sore.

Well, bisa dibilang, saya itu anaknya audio banget. Jadi, jangan heran kalau musik menjadi salah satu elemen yang paling memengaruhi hidup saya. Saya juga berterima kasih kepada musik, salah satu hal yang saya sukai, sekaligus menjadi 'teman setia' saya dalam melewati berbagai fase kehidupan.

ntinya, tak disangka, menjalani hari-hari baru dengan orang-orang—dan playlist—baru serta melakukan hal-hal yang disukai dapat membuat saya perlahan move on dari mantan. Saya masih ingat beberapa bulan setelahnya, di hari sang mantan mengubah status hubungannya di akun Facebook yang menunjukkan bahwa dirinya telah menjalin kasih dengan pujaan hatinya, saya merasa sangat terpukul, seolah meruntuhkan usaha dan membawa kembali kenangan tentangnya. 

Saat itu saya sedang menginap di rumah salah satu teman kampus saya di Bandung, bersama teman-teman yang lainnya juga. Saya sontak menangis dan membuat yang lainnya bingung. Namun, tanpa perlu bertanya banyak, mereka menenangkan dan memeluk saya, bahkan menghibur dengan cara unik khas mereka. Saat itulah saya sadar bahwa saya tak sendiri. Saya dikelilingi oleh banyak orang yang menyayangi saya dengan caranya sendiri. 

Meskipun mereka adalah orang baru di kehidupan saya, mereka tak pernah ragu untuk membuat saya bahagia dan tertawa. Saat itu juga saya sadar, orang yang tak mengenal atau baru mengenal saya sekalipun, lebih bisa menyayangi dan menghargai saya daripada si mantan—yang jelas-jelas sudah menyia-nyiakan saya. Terima kasih juga saya ucapkan kepada orangtua, kakak, mantan pacar yang lainnya lagi—alias suami saya kini—dan teman-teman saya yang tak bisa saya sebutkan satu-satu, but you guys know who you are. Begitu pula Anda. Percayalah, ada banyak orang yang mencintai dan menghargai Anda di luar sana. You deserve better.

Saya hanya berbagi pengalaman pahit-manis putus cinta—yang justru kini saya syukuri pernah terjadi dalam hidup saya, karena tanpa ‘kelakuan’ sang mantan, mungkin saya tak akan bertemu dengan suami saya saat ini, ya kan? Bagi saya putus cinta hanyalah fase hidup yang pasti akan terlewati, sama halnya seperti makan, minum, mandi, dan rutinitas lainnya. Ya, mungkin tak mudah saat itu dan saya jujur, saya baru bisa move on setelah 6 bulan lamanya, 

tetapi lagi-lagi semua itu tergantung pada usaha dan kemauan Anda. Mencari kesibukkan dan melakukan aktivitas yang menyenangkan dan disukai—asalkan positif ya—bersama orang-orang yang menyayangi Anda adalah beberapa cara jitu untuk bisa move on dari mantan. Ya, setidaknya itu ampuh terbukti pada saya. Sekarang, temukanlah cara Anda sendiri. Kalau saya saja bisa, mengapa Anda tidak?

Kalau kata lirik lagu motivasi versi saya yang juga jadi anthem wajib saya hingga kini, Hidup Itu Indah….

Well, #HelawMantan, saya kembali untuk ucapkan terima kasih karena telah lakukan hal kejam kepada saya yang justru membuat saya menjadi lebih kuat dan menyenangkan dari sebelumnya. Thanks to you and this universe!

Cover: Unsplash



Baca juga :

Post a Comment

Jika ada yang masih kurang jelas, silahkan untuk bertanya pada kolom komentar di bawah ini atau dengan menghubungi kami di halaman kontak.

1. Centang kotak Notify me/Beri tahu saya untuk mendapatkan notifikasi komentar.
2. Semua komentar dengan menambahkan link akan dihapus dan tidak akan dipublikasikan.
© BLACK SCRIPTS. All rights reserved. Developed by Jago Desain