Ada yang istimewa dari madu Trigona sp. Selama belasan tahun, harganya belum pernah turun dan produksinya selalu belum mencukupi kebutuhan. Hal ini menjadikan lanceng, nama Jawa dari lebah Trigona sp ini layak untuk dilirik sebagai lahan bisnis sampingan yang menjanjikan. Mengapa sampingan? Karena beternak lebah trigona tidak mengganggu aktivitas seseorang dalam menekuni pekerjaan utamanya.
Beternak lebah trigona tidak memerlukan banyak waktu, biaya, dan tenaga. Setelah ditangkarkan, maka cukup dibiarkan dan tinggal panen madu di setiap 3 bulannya. Sesekali waktu, hanya perlu dilakukan pembersihan kandang agar tidak tumbuh sarang laba-laba yang merupakan predator dari lebah tidak bersengat ini.
Dengan 300 kendil (koloni), maka akan diperoleh 30 liter madu lanceng. Kendil adalah gerabah semacam kuali. Dengan harga Rp 500 ribu per liter, pendapatan yang diperoleh adalah Rp 15 juta per 3 bulan. Dalam hal ini, pembudidaya tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli pakan, tenaga untuk memberi pakan, biaya perawatan dan kesehatan, listrik untuk penerangan, ataupun biaya lain sebagaimana beternak pada umumnya.
Kisah Sukses Beternak Lebah Trigona
Hal itu diungkapkan oleh Sugeng Apriyanto, seorang peternak lanceng di Gunung Kidul, Yogyakarta. Mulai tahun 2005, Sugeng mengembangbiakkan satu koloni lanceng yang dia peroleh dari ruas bambu di dalam rumah. Hasil madunya kemudian dijual ke lingkungan sekitar. Seiring dengan bertambahnya jumlah koloni, ternyata bertambah pula jumlah konsumennya.
Sampai jumlah koloninya mencapai 2.500 gerombol seperti pada saat ini pun, ternyata permintaan madu tetap belum dapat tercukupi. “Permintaan per bulan 400-500 liter sedangkan produksi maksimal kita 160 liter. Rata-rata 120 liter per bulan,” hitungnya. Produksi sebanyak itu diperoleh dari 3.200 koloni milik anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Madusari yang dia ketuai dan anggota Koperasi Madusari Lanceng Gunungkidul yang dipimpinnya.
Permintaan terus datang dari berbagai daerah seiring dengan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi suplemen makanan yang sehat dan alami. Madu lanceng dipercaya oleh masyarakat mampu meningkatkan stamina serta daya tahan tubuh dan bahkan meringankan berbagai macam penyakit, seperti asam urat, stroke, asma, rematik, dan proses pemulihan pasca-sakit.
Terdapat 3 jenis rasa madu lanceng, yaitu manis, asam, dan pahit. Madu rasa asam dan pahit dijual dengan harga Rp 500 ribu per liter, sedangkan yang manis sebesar Rp 350 ribu per liter. Selain itu, terpengaruh dari sumber makanan, maka rasa asam dan pahit ini berasal dari proses fermentasi yang menghasilkan enzim-enzim yang berguna bagi kesehatan. Oleh karena itu, harganya menjadi lebih mahal. Penyimpanan madu hendaknya tidak menggunakan lemari pendingin namun cukup di ruang terbuka agar proses fermentasi tidak terhenti.
Satu koloni lebah lanceng dalam 3-6 bulan dapat ditangkarkan menjadi 2 koloni baru. Satu koloni saat ini dihargai Rp 650 ribu. Penempatan koloni sebaiknya berada pada area tanaman bunga dan buah sebagai penghasil makanan lebah. Lebah lanceng adalah jenis lebah yang tidak memilih-memilih jenis bunga sehingga lebih memudahkan peternak dalam menempatkan sarang koloni.
Hanya saja, daya jelajah lebah ini terbatas pada radius 500 meter dan tinggi terbang 30 meter sehingga peternak dapat merekayasa komposisi tanaman bunga dan buah pada daya jelajah dan ketinggian tersebut. Lebah ini akan melahap berbagai bunga seperti jambu air, kelengkeng, jeruk, kelapa, belimbing, kaliandra, mahoni, aren, pepaya, dan sebagainya. Agar ketersediaan pangan melimpah, maka tanaman-tanaman bunga dan buah di sekitar kandang koloni perlu dipupuk.
Sarang Kendil
Mulai tahun 2010, Sugeng mengganti sarang koloni dari tabung bambu menjadi kendil. Keunggulan kendil adalah mampu menjaga suhu udara menjadi lebih dingin, tidak lapuk sehingga tidak mengotori hasil madu serta lebih awet, dan tetap aman apabila terkena hujan serta asap pembakaran. Perlu diketahui bahwa lebah ini tidak suka sarangnya terkena sinar matahari langsung, suhu yang panas, serta asap pembakaran.
Produksi madu lanceng biasanya menurun pada bulan Juni-Agustus karena pengaruh musim kemarau yang menyebabkan ketersediaan pakan berkurang. “Penurunan bisa sampai 50 persen,” hitung Sugeng. Sedangkan pada bulan Desember-Januari, penurunan diperkirakan sebesar 20% akibat tingginya curah hujan yang menyebabkan nektar bunga larut di dalam air dan tidak terhisap oleh lebah.
Kualitas madu juga ditentukan oleh kondisi kelembaban udara. Di Gunung Kidul yang cuacanya kering, menyebabkan lingkungan yang tidak terlalu lembab. Hal itu membuat kadar air pada madu mencapai kondisi ideal, yaitu pada kisaran 11 persen. Hal itu akan membuat madu menjadi ‘matang’ sempurna karena proses fermentasinya menjadi lebih optimal. “Dengan demikian kualitas madu pada daerah yang berbeda bisa berbeda pula,” jelasnya.