Untuk Mendukung Blog Ini Klik Salah Satu Iklan Yang Tayang. DONASI DISINI

Cerita Sepasang Kekasih Di Kamar hotel 370

Cerita Sepasang Kekasih Di Kamar hotel 370


Tepat di dalam ruangan itu, tidak ada maksud untuk mengundang kebisuan datang dengan tiba-tiba. Memang suasana dingin sekali, bertambah lagi hati. Dalam hitungan, pada masa yang cukup lama mula pembicaraan belum menemukan nada dan intonasi yang kena. Setidaknya bukan ungkapan yang dikeluarkan dengan terpaksa kelihatannya, tetapi benar-benar dari dalam hati. Atau belajar terlebih dahulu bagaimana memunculkan sesuatu dari hati yang tak terlihat terpaksa.

Tepat pula di tempatnya masing-masing juga sudah mengambil hadap ke pandangan yang lain pula. Berkat pertemuan malam ini akan banyak hal yang dituturkan sampai keesokannya pagi, barangkali.

“Apa kabar? Sudah lama aku tidak menemuimu. Atau kau yang sudah lama pergi dariku? Tidak. Aku tidak bermaksud saat bertemu denganmu langsung membuat kau dan hatimu sakit hati. Aku juga takut kau terjun dari kamar ini. Bukan tanpa alasan, kita kan pernah berdrama dengan serius seperti dialog dan gestur yang benar-benar asli. Atau kau memang asli betul melakukan itu?”

Berada di atas bufet. Dia yang memakai baju ketat itu mengambil gelas putih yang airnya sedang diam dan pasrah akan tumpah dalam perut perenggut yang kurus, air yang dalam gelas putih kalau mengukur dengan menggunakan jemari remaja seukuran delapan jari tanpa jempol. Dia yang memakai baju ketat itu langkah jalannya begitu gemulai. Dirinya berpose pula bak model. Dari cara mengambil gelas sampai meletakkannya kembali gelas itu diperlakukan tak seperti pasangannya yang kasar, begitu lembut dan nyaris pun tak berbunyi dengan bufet berbahan kayu jati atau apalah itu namanya. Dan ditempatkan di tempatnya semula, tak keluar garis melingkar itu.

Dia yang berbadan 168,7 cm tak mau ikut campur atau mengganggu perjalanan yang singkat untuk minum itu atau sekadar mengolok-ngolok kehausan. Pandangannya hanya duduk di dekat dinding sebelah jendela yang terbuka seperempat sembari seakan berbicara dengan lampu kuning itu—memang matanya sempat melirik dia yang memakai baju ketat itu namun hanya dua kali saat dia mulai berjalan dan minuman itu ditumpahkan.

Biasanya dia yang memakai baju ketat itu sebelum mengambil apa pun bertanya kepada dia yang berbadan 168,7 cm, “Itu punya siapa?”

“Biar pun barang yang kau tanya itu milik barang kesayanganku, apa pun juga akhirnya milikmu.”

Biasanya seperti itu, tapi tidak ketika itu malam pertemuan. Dia yang berbadan 168,7 cm tak heran panjang kalau hal itu terjadi dengannya, maklum karena memang sudah lama tidak bertemu dan hal yang biasa dilakukan seakan harus dilatih lagi dari yang paling dasar. Tidak seperti hal-hal lain,  pertanyaan “Kamu punya siapa (sekarang)?” masih bisa dijawab dia yang berbadan 168,7 cm kepada dia yang memakai baju ketat kalau tetap dia yang memakai baju ketat itu milik dia yang berbadan 168,7 cm.

Walaupun harus diakui kalau mereka sudah berpisah lima tahun semenjak kepergian dia yang memakai baju ketat itu ke luar kota, demi membuat ibundanya bahagia yang sudah tua dan ditinggal wafat ayahanda. Seperti orang lainnya sebelum meninggal ingin melihat menantu, tapi akal-akalan pernikahan itu selesai setelah ibundanya meninggal empat setengah tahun setelah pernikahan dan sebulan setelah itu mereka resmi bercerai. Bukan karena hal lain. Demi kenyamanan, pernikahan perlu diatur tenang-tenang.

Dia yang memakai baju ketat pada saat itu tak mengerti apa yang harus dipilih malah ia memilih pilihan ketiga. Terjun dari hotel. Dan di kamar itu pula mereka bertemu terakhir kali, dan pertemuan malam itu juga di tempat yang sama. Kamar nomor 370. Dengan jendela hitam dan satu kasur untuk dua orang. Eksklusif sekali, tapi pilihan terjun dari hotel itu harus direlakan batal karena dia yang berbadan 168,7 cm itu tak rela kalau ia mati.

“Pegang tanganku, kalau kau ingin terjun biar tubuhku dulu baru tubuhmu. Dan akan mati. Ikuti saja apa kata ibundamu, baru ikuti kata hatimu.”

“Mungkin tuhan suka, tapi aku masih terpaksa, dan tak pernah sanggup. Aku masih ingin denganmu.”

Dia yang berbadan 168,7 cm mencoba menjawab dengan tenang dan meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja, bisa diatur dan dia yang memakai baju ketat itu akan kembali padanya.

Padahal pandangannya benar-benar sudah membayangkan bagaimana kalau badannya jatuh bebas dan bercerai-derai merah-merah terang itu. kaki kirinya terpisah. Wajahnya langsung menghantam jalanan, baik bagus atau tidaknya pengaspalan, tetap itu keras. Bayangkan saja kalau muka sebersih dia harus hancur dengan begitu saja. Dia dengan dalam membayangkan ibundanya langsung kejang-kejang dan kesendirian di rumah yang besar itu saat mendengar kabar anaknya yang meninggal.

Dia juga memikirkan bagaimana dia yang berbadan 168,7 cm itu menangis di dalam kamar hotel atau menyusul. Padahal hatinya juga takut untuk terjun ke bawah, namun mau bagaimana lagi kalau keadaan hidupnya sendiri sudah sebegitunya dan tak mampu berbuat lagi, dia yang lembut dan berperasaan itu memang sudah lemah. Tangisan ia tak mau berhenti. Terisak-isak. Kamar hotel yang tinggi itu memang hampir tak ada yang nampak, atau kalau dilihat pun tak dipedulikan.

Tapi entah bagaimana caranya dia yang memakai baju ketat itu tak jadi mati. Tapi rasa inginnya masih ada sedikit. Dan pelukan mereka begitu erat dan lekat, pandanganku melihat mereka penuh rasa. Ah. Dalam lubang kecil dalam lemari itu.

Sebentar. Aku mengerti kau pasti sedang sulit dengan ciri-ciri yang aku berikan, bukan malah ke nama orangnya. Memang kau bisa menerka-nerka siapa dia, tetapi manusia sepertiku banyak memiliki kenalan dari yang muda sampai yang tua bisa kuajak main apa saja. Namanya… tidak. Aku harus merahasiakan darimu sedangkan dari diriku sendiri saja aku harus melupakan siapa nama dia. Dan ingat kau adalah orang pertama dan terakhir sebagai pendengar cerita ini, khusus kepadamu aku ceritakan tentang dia yang berbadan 168, 7 cm dengan dia yang memakai baju ketat itu karena dengan orang lain aku yakin semua akan terbongkar. Tidak hanya mereka berdua tetapi aku sendiri, orang yang berada di depan mata atau pun depan pusarmu itu juga akan rusak luar dan dalam. Lalu kalau pun terjadi denganku hal itu, semoga saja bukan engkau.

Berdoalah supaya aku pernah melakukan hal yang sama bahkan lebih melebar ke mana-mana dengan orang lain. jadi aku tetapkan kita memakai inisial mereka seperti tadi saja. Jangan mengeluh.

“Aku meninggalkannya hanya karenamu.”

“Aku pun berada di sini karenamu,”

Cuaca malam itu dingin-dingin sejuk, diam mereka berdua sejenak itu terdengar angin yang bersiuh.

“Juga karena aku telah berjanji denganmu sejak kita tak tahu kapan bisa memastikan untuk kapan bertemu lagi. Wajahmu masih seperti dulu, tapi tetap kita harus membiasakan apa-apa yang dulu kebiasaan kita.”

“Sampai kapan?”

“Kalau kau mau menikah denganku, kebiasaan itu menjadi tradisi.”

“Memang, tapi kita tak bisa menikah dengan begitu saja. Pertemuan ini saja kita diam-diam.

“Jadi untuk apa kau pulang dan menemuiku kalau tidak melanjutkan hubungan kita”

“Kita lihat tubuh kita masing-masing. Siapa yang berhak untuk hamil dan siapa yang berkewajiban menghamili? Siapa yang akan menafkahi dan siapa yang akan memasak. Hidup kita hanya mampu di sini saja, orang-orang banyak mengatakan kalau ke jenjang yang lebih serius itu adalah pernikahan. Tapi bagiku pernikahan ya sudah namanya pernikahan, jenjang yang lebih serius bagi diri kita ini cukup tanpa status menikah, tapi bisa saling memiliki. Biar saja ini menjadi rahasia kita berdua. Aku tahu banyak wanita lain yang menyakitimu, bahkan dari kepal tinju para preman,”

Dia yang memakai baju ketat itu diam sejenak, mengambil napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Dia yang berbadan 168,7 cm hanya diam dan menunggu apa yang ingin dikatakan lagi.

“Aku pun begitu, banyak wanita yang harus kutinggalkan dan meninggalkanku. Sebelum aku pulang dan menemuimu di sini, keluarga dari sebelah ibundaku sudah mengetahui diriku yang seperti ini. Kau kira perceraian kami atas dasar ketidaksukaan saja? Ada hal yang utama. kemesraan foto kita berdua sebelum berpisah di kamar ini ketahuan. Aku mencoba mengelak, tapi foto kita lebih mesra dari foto aku dengan istriku sendiri. Dia mengatakan kalau itu bukan foto pertemanan akrab saja. Aku hanya bisa diam. Talak itu sudah terjadi. Keluargaku sangat dekat dengan keluarga mantan istriku itu, semua menyebar. Tapi mereka masih punya hati untuk memaafkanku. Dan mereka mengetahui dirimu.”

Dia yang berbadan 168,7 cm itu tersenyum, “Baguslah. Mereka mengetahui hubungan kita. Tuhan sudah menakdirkan untuk kita berdua. Aku sendiri dan kau sendiri sekarang ini. Kita hidup bersama, tak usah melihat orang lain yang mengusik kita. Kau akan kusenangkan dan aku memilikimu.”

“Iya. Aku mengerti. Semoga saja doamu itu terkabul.”

Dia yang berbadan 168,7 cm itu berpindah duduk di atas kasur sebelah kiri, berbaring dengan perlahan. Tapi tak lama tangan kanannya memandangi dia yang memakai baju ketat dengan tangan menyentuh kepala dan telinga kanan. Kau tahulah seperti apa, gaya manja di kasur itu. tatapan dia begitu menarik hati.

Dia yang memakai baju ketat beranjak dari kursi yang sebelumnya ia duduk. Di depan kaca dan tempat gelas tadi berada. Dari tadi sebenarnya mereka tak berbicara berhadapan, mereka memakai perantara kaca. Tak ada usaha dia yang berbaju ketat itu menoleh ke belakang untuk berbicara langsung. Ia senang melakukan hal itu, berbicara pada kaca dan juga berbicara pada dia yang berbadan 168,7 cm.

“Kita tinggal mencari tempat yang nyaman dan tenang. Membuat keluarga.”

“Iya. Tapi tidak denganmu.”

Dia yang memakai baju ketat itu pindah ke kursi dekat jendela. Tak ada pandangan dia tertuju pada dia yang berbadan 168,7 cm. Sebaliknya, pandangan dia yang berbadan 168,7 cm itu bertepuk sebelah tangan.

“Dengan pilihan keluargamu sendiri?”

“Aku menemuimu dengan lelaki lain, memang saat di restoran itu kalian biasa saja seperti teman gym bersama, tapi setelah aku ikuti ke hotel, pegangan kalian mesra. Di kamar ini pula. Aku sebagai lelaki yang lembut dan musnah dari hidup yang lalu dan ingin hidup denganmu harus berpikir ulang,”

Dia yang memakai baju ketat itu lancar sekali berbicara, dan lebih tegas.

“Masih banyak lelaki yang menerima lelaki sepertiku. Baik di kota ini pun atau di tempat lain.”

Dia yang memakai baju ketat itu langsung ke luar kamar. Dan kata-kata terakhirnya ditambah ciuman itu. pada saat itu mataku dipejamkan jadi tak tahu pada bagian mana yang dicium. Setelah kubuka mata, dia yang berbadan 168,7 cm itu menangis tersedu dan dengan perlahan menuju ke jendela. Melihat ke bawah.

Dia yang memakai baju ketat itu turun ke lantai dasar dengan lift. Ke luar hotel dan menuju mobilnya. Pandangan orang-orang melihat ke atas hotel setelah dia yang memakai baju ketat jalan ke luar parkiran. Ada yang sedang terbang ke bawah. Perkiraan di lantai tujuh, kamar tiga puluhan.
Baca juga :

Post a Comment

Jika ada yang masih kurang jelas, silahkan untuk bertanya pada kolom komentar di bawah ini atau dengan menghubungi kami di halaman kontak.

1. Centang kotak Notify me/Beri tahu saya untuk mendapatkan notifikasi komentar.
2. Semua komentar dengan menambahkan link akan dihapus dan tidak akan dipublikasikan.
© BLACK SCRIPTS. All rights reserved. Developed by Jago Desain