Untuk Mendukung Blog Ini Klik Salah Satu Iklan Yang Tayang. DONASI DISINI

Sinopsis Dan Analisis Cerpen Perempuan Pengambil Hati

 Sinopsis Dan Analisis Cerpen Perempuan Pengambil Hati  - Cerita Pendek atau biasa disingkat cerpen merupakan prosa fiksi yang menceritakan tentang peristiwa yang dilami tokoh utama. seperti namanya, cerpen lebih sederhana dari novel. cerpen termasuk sastra populer. karya sastra ini terdiri dari satu inti kejadian yang dikemas dengan cerita yang padat. salah satu contoh cerpen yaitu cerpen perempuan pengambil hati. berikut ini admin akan memerikan sinopsis serta analisis dari cerpen tersebut. 


Sinopsis Dan Analisis Cerpen Perempuan Pengambil Hati 

SINOPSIS


“Yanti!” aku sedikit berteriak. Pertemuan itu menoleh ke arahku, sarahku terkesiap. Di tengah keramaian kantin siang itu, agak ragu ya mendekatiku. Sudah Sembilan tahun kucari keberadaan perempuan yang telah merebut suamiku ini. kini, kini aku harus beracting karena perempuan itu berdiri satu meter dihadapanku. Biasa, tidak terlalu cantik, agak genit!

“Siapa, ya ?” perempuan itu sedikit mengerutkan kening menatapku

“Aku yang mengirim sms tadi, sudah dibaca? Tanyaku sok akrab. 

“Oh …..” ia segera duduk. Aku menelan ludah, emosiku mulai naik membayangkan anak-anakku yang kehilangan ayahnya karena perempuan ini.

“Kita makan apa siang ini?” tanyaku langsung. Aku segera pesan dua porsi  gado-gado dan lemon tea. Untuk melapiaskan emosi, kutinju bawah meja berkali-kali. Untung suaranya tidak terdengar karena ramainya kantin  siang itu.

”Maaf, siapa ya, tanyaku lupa?” perempuan itu  menatapku. Aku balas menatapnya. Dalam hati aku berbisik, akulah perempuan yang pernah engkau sakiti, perempuan yang harus  banting tulang menghidupi dua anak. Dibawah meja aku mengelus-elus kepalan tanganku, agar aku, agar aku bisa menonjok wajahnya  sekeras mungkin!

“Teman lama!” kataku singkat.  Bagaimanapun perempuan ini sudah kurancang. Aku tidak boleh merusak suasana.  Untuk menemukan perempuan itu  tidak mudah.  Aku mencari info beberapa saudara dan temaku di kota ini. Jadi, sekali lagi, aku harus menahan tinjuku  agar tidak melayang  ke wajah perempuan itu sekarang. Aku sedang berpikir, bagian mana wajah perempuan perebut hati suamiku ini yang akan kutonjok duluan, kayaknya sebelah kanan lebih enak, terus kesebelah kiri, terakhir aku tonjok dari depan atau sekaligus aku tending bokongnya!

“Teman SMP? SMA? Siapa ya, aku lupa, pangling banget!” katanya genit. Ih . . . mungkin karena genit, Mas Yusuf tergoda perempuan ini. Dasar laki-laki buaya! 

“Begitu aku terima sms, aku penasaran, siapa ya, teman lama itu? Apalagi janjian ketemu di kantin siang ini. penasaran banget. Tapi aku bener-bener lupa, Siapa ya?” ia semakin genit, suara genitnya mengiris gendang telingaku. Oh pasti suara ini  yang membuat Mas Yusuf  lupa dengan anak istri.

“Mona, sudara Yusuf, suamimu!” aku mengulurkan tangan. Aku menjabat tanganya, uih . . . ingin sekali aku mencengkran tanganya  dan menjambak rambut siang itu.

“Oh, saudaranya Mas Yusuf? Kok gak bilang dari tadi, ngakunya teman lama. Kok tahu saya kerja disini? Kalau begitu saya telpon Mas Yusuf ya. Dia pasti senang mendengarnya!” tawanya renyah. Aku menahan sekuat tenaga untuk  tidak menjambak rambutnya yang terkibas terkena angin.

“Eh, jangan-jangan! Aku memang saudaranya tapi udah lama gak ketemu. Buat surprise saja, ceritakan saja nanti kalau susah pulang ke rumah. Oke?” aku memintanya. Dia tersenyum genit, setuju dengan usulku. Ia menyimpan kembali Hp-nya. Dua porsi gado-gado dan lemon tea sudah di depan mata.

“Saudara sepupu Mas Yusuf? Kok dia enggak pernah cerita. Mbak Mona sekarang tinggal di mana?” tanyanya sambil meyeruput lemon tea dan memasukuan gado-gado kemulutnya yang agak monyong itu.

“Bukan saudara sepupu, dia masih terbilang saudara. Aku kehilangan kontak. Kebetulan aku ada tugas di sini. Jadi gak ada salahnyakan, kita ketemuan. Apa kabar Mas Yusuf? Sudah berapa anaknya? sekarang tinggal dimana? Cerita dong!” aku memintanya bercerita. Sekuat tenaga aku menjaga kaki ku yang sejak tadi gatal untuk menedang kaki perempuan yang berhadapan persis kakiku di bawah meja.

“Mas Yusuf baik-baik saja. Kami sudah dikaruniai anak dua Dio dan Salma. Lucu-lucu lho, ini fotonya.”dia segera mengeluarkan selembar foto dari dompetnya. Kulihat yanti dan yusuf memangku dua anak mereka. Tiba-tiba darahku bergolak panas, jantungku bergetar cepat, tanganku bergetar memegang foto itu. Kulihat Mas Yusuf tersenyum bahagia denga istri dan anaknya. Sementara anak yang kuliahirkan  disia-siakan. Benar ini Mas Yusuf, suamiku dan ayah anak-anakku. Aku tidak salah sasaran. Makanan yang ada di dalam mulut  kutekan kuat-kuat menahan perasaan yang bercampur baur. Engkau bahagia dengan perempuan ini, Mas? Tapi engkau telah merusak hidupku, merusak masa-masa kecil anak kita yang tak berdosa, meninggalkan tanpa alasan, tanpa status! Air mataku mulai panas, terlalu panas menahan emosi. 

“Dio sudah TK, Salma baru tiga tahun. Anak-anakmu giamana?” perempuan itu berceloteh tentang kelucuan anak-anakanya. Tanganku masih memegang foto keluarga itu. Teringat dimas dan dini dirumah. Dimas yang tiap hari pulang pergi kesekolah sambil mengantar dan menjemput dini, adiknya, adalah anka-ankau yang hidup mandiri  dan tidak manja. Aku ingin sekali mengebrak meja, menjambak rambut peremuan itu, menampar wajahnya, dan menendang bokongnya! Dasar pelacur!

Engkau tidak tahu  Mas, bagimana dimas kecil menggigil kedinginan di sudut sekolah, ketika aku telat menjemputnya! Engkau tidak tahu bagai mana Dini mogok sekolah karna diejek tanpa ayah! Engkau tidak tahu ketika Dimas sakit dan mengigau menyebut namamu! Engkau sudah pergi Sembilan tahun! Meninggalkanku dan anak-anak tanpa alasan. Mugkin engaku bosan hidup miskin, tapi keperianmu membuatku tegar. Aku melanjutkan kuliah yang terbengkalai sambil mengurur dua anak balita. Untung ada ibu yang selalu setia  membantu sampai aku lulus dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan swasta.

“Eh, kok menangis?” tepukanya mengejutkanku.

“Oh, maaf-maaf” aku sadar, aku telah membuat kesalahan . “Aku ingat anak-anakku di rumah. Ingat mas yusuf juga! Sudah lama tidak ketemu!” segera aku hapus air mata yang masih mengenang itu. Sesunggunya aku benci dengan air mata yang tidak bisa ditahan. Aku benci dan marah mendengar suamiku bahagia dengan perempuan ini. tujuanku bertemu dengan perempuan ini, pertama: memberitahu aku isitri pertamanya! Kedua: meminta Mas Yusuf mengganti biaya hidup untuk kedua anakku! Ketiga: aku ingin ia kembali dalam kehidupan kami.  

“Sekarang Mas Yusuf kerja di mana?” kualihkan ceritanya agar ia cerita kembali. Sejenak perempuan itu diam, seraut kesedihan tergurat disana. Dia seruput lemon tea, menatapku sendu. 

“Sudah dua tahun ini, Mas Yusuf tidak bekerja.”gurat nestapa tergambar dari raut wajahnya.

“Kenapa?” tanyaku tidak percaya, karena seingatku laki-laki itu tidak suka nganggur. Ia pekerja keras sehingga bisnis nya terus berkembang. Aku banyangkan ia sudah kaya raya.

“Sakit. Awalnya hanya darah tinggi, tapi mungkin karena Mas Yusuf terlalu capek, makan tidak teratur, banyak kerja lembur, sering tugas luar kota, kurang istirahat, kurang olahraga, jadi sekarang ginjalnya kena. Beberapa bulan yang lalu baru pulang dari rumah sakit. Keluar masuk rumah sakit sudah berkali-kali sampai tabungan kami habis. Tapi mana ada perusahaan yang mau rugi, kan? Dia di keluarkan dari perusahaan, memang diberi pesangon, tapi uangnya habis untuk biaya rumah sakit. Sekarang kami hidup pas-pasan dari gajiku saja, rumahpun ngontrak.’’ Suaranya serak, air matanya mengembang. Aku benci liat air itu menetes di pipinya karena jadi mengurungkan kepalan tangan ku untuk meninjunya. Perempuan it uterus bercerita tentang penyakit dan kondisinya. Aku hanyut, air mata perempuan itu melemaskan otot-otot itu yang siap meninjunya.

Alarm HP tiba tiba berbunyi. Aku sengaja memasang waktu untuk pertemuan ini untuk tidak terlambat sampai bandara. Melihat jam tanganku kaget sekali. Ternyata waktu cepat berlalu. aku belum melakukan tindakan apa pun dari rencana semula. Belum menjambak ramburnya, belum menampar wajahnya, dan menendang bokongnya.!

Aku ikut sedih? Tapi maaf aku harus kebandara.” Aku harus beranjak dia tergesa menghapus wajasnya kusimpan uang lima pulunh ribu dimeja, aku mengulurkan tangan. Serasa dikejar waktu.

“Mau kemana?” aku tidak menduga aku akan segera pergi aku berdiri tegak, melemaskan otot-otot kepalan tanganku, melemaskan otot pergelangan tanganku. Aku menunggunya berdiri. Dia berdiri dengan wajah kusut dan sisa air mata. Kegenitannya hilang dengan wajah kusut yang memelas. Kami berhadapan. Aku menatapnya, perempuan ini begitu lemah lebih lemah dari aku, tidak seperti yang ku bayangkan sebelumnya. Aku yakin tidak perlu meninjunya berkali-kali, hanya dengan sekali pukulan ringan saja, dia pasti terjembak.!

 Air mata perempuan itu adalah kesedihan dan ketidakbahagiaan hidup dengan Mas Yusuf. Kenapa aku ingin merebutnya? Bukankah perempuan ini juga tidak bahagia dengannya? Tidak layak merebutkan laki-laki seperti Mas Yusuf. Tidak perlu ku pertaruhkan nama baik dan jabatan yang aku miliki sekarang ini dengan perempuan lemah yang sedang menderita. Bodoh jika aku mengharapkan laki-laki kembali jadi ayah dan anak-anakku. Aku yakin, aku yakin tidak akan membuat hidupku lebih bahagia dari sekarang. Lebih bodoh lagi jika aku mempertaruhkan kemandirian anak-anakku sekarang dengan laki-laki yang telah meninggalkan mereka Sembilan tahun tanpa kabar! Tanpa Mas Yusuf, aku tetap hidup dan anak-anak tetap mandiri. Aku juga tidak perlu meminta ganti rugi biaya hidup selama Sembilan tahun karena untuk hidup saja, Mas Yusuf tergantung perempuan ini. Tidak! Aku tidak akan mengambil keputusan bodoh untuk hidupdengan laki-laki yang sudah meninggalkan aku dan anank-anakku. Aku mengulurkan tangan. Kami berjabatan. Tangannya basah oleh air mata.

“Saya, Mona, istri pertama Mas Yusuf. Sampaikan salamku, kabarkan Dimas, anak pertama kami sudah masuk SMA dan Dini, adiknya sekarang kelas dua SMP,” aku menarik nafas berusaha menahan air mata agar tidak jatuh dan terlihat oleh perempuan yang kini di hadapanku. “sampaikan juga pada Mas Yusuf, aku dan anak-anak baik-baik saja, biarkan kelak mereka mencari bapaknya!” aku lepaskan tangan perempuan itu aku berhasil mengucapkan kalimat demi kalimat tanpa menjatuhkan air mata. Rasanya terlalu mahal air mataku jatuh untuk perempuan perebut hati ini. Rasanya juga tidak terlalu pantas air mata dijatuhkan mengingat laki-laki yang tidak setia dan tidak bertanggung jawab. Ah… tidak perlu menangis!

Perempuan itu melongo tidak percaya menatapku tak berkedip. Aku segera meninggalkan kantin ia mencoba mengejar meraih tanganku, teriakan yang ti berkali-kali tidak lagi kudengarkan semakin lama teriakannya semakin lirih aku tetap melangkah menuju parkiran, sebuah taksi sejak tadi menungguku. Aku tidak boleh ketinggalan pesawat, anak-anak menunggu dirumah! Tidak perlu menunggu dan berharap laki-laki itu datang dan tinggal lagi diruamah kami. Aku sudah punya pekerjaan, aank-anak sudah mandiri. Yang harus kulakukan sekarang menabung dan mempersiapkan Dimas dan Dini menjadi manusia yang setia dan bertanggung jawab!

1. Unsur Instrinsik  Perempuan Pengambil hati

a. Tema

Tema dalam cerpen Perempuan pengambil Hati adalah “Pengkhianatan bertuah pada kehidupan yang sengsara”. Tema ini terdapat dalam kutipan:

- “Sudah dua tahun ini, Mas Yusuf tidak bekerja.”gurat nestapa tergambar dari raut wajahnya”.

b. Amanat 

”Air mata perempuan itu adalah kesedihan dan ketidakbahagiaan hidup dengan Mas Yusuf. Kenapa aku ingin merebutnya? Bukankah perempuan ini juga tidak bahagia dengannya? Tidak layak merebutkan laki-laki seperti Mas Yusuf. Tidak perlu ku pertaruhkan nama baik dan jabatan yang aku miliki sekarang ini dengan perempuan lemah yang sedang menderita. Bodoh jika aku mengharapkan laki-laki kembali jadi ayah dan anak-anakku. Aku yakin, aku yakin tidak akan membuat hidupku lebih bahagia dari sekarang. Lebih bodoh lagi jika aku mempertaruhkan kemandirian anak-anakku sekarang dengan laki-laki yang telah meninggalkan mereka”.

c. Latar/setting 

1) Latar waktu

Latar waktu adalah waktu masa tertentu ketika peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar waktu pada cerpen ini adalah:

- Siang hari.

“Di tengah keramaian kantin siang itu, agak ragu ia mendekatiku”

- Sembilan tahun yang lalu

“Engkau sudah pergi sembilan tahun! Meninggalkanku dan anak-anak tanpa alasan”

2) Latar tempat

Latar tempat adalah lokasi yang menjadi tempat terjadinya peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar tempat pada cerpen ini adalah:

- Di kantin

“...untung suaranya tidak terdengar karena ramainya kantin siang itu”

- Parkiran

“Aku tetap melangkah menuju parkiran...”

- Taksi

“...sebuah taksi sejak tadi menungguku”

d. Tokoh

1) Yanti

-  Perempuan yang mengambil hati Yusuf.

“Sudah sembilan tahun kucari keberadaan perempuan yang telah merebut suamiku ini”

“Mas Yusuf baik-baik saja. Kami sudah dikaruniai anak dua Dio dan Salma. Lucu-lucu lho, ini fotonya. ”Dia segera mengeluarkan selembar foto dari dompetnya. Kulihat Yanti dan Yusuf memangku dua anak mereka. Tiba-tiba darahku bergolak panas, jantungku bergetar cepat, tanganku bergetar memegang foto itu. Kulihat Mas Yusuf tersenyum bahagia denga istri dan anaknya. Sementara anak yang kuliahirkan  disia-siakan. Benar ini Mas Yusuf, suamiku dan ayah anak-anakku. Aku tidak salah sasaran”.

2) Yusuf

-   Tidak bertanggungjawab

“...Engkau bahagia dengan perempuan ini, Mas? Tapi engkau telah merusak hidupku, merusak masa-masa kecil anak kita yang tak berdosa, meninggalkan tanpa alasan, tanpa status! Air mataku mulai panas, terlalu panas menahan emosi.”

e. Alur

Alur dalam cerpen ini menggunakan alur campuran karena dalam cerpen tersebut terdapat alur maju dan alur mundur. Seperti pada kutipan di bawah ini:

a. Alur mundur atau progresif 

Alur mundur adalah pengungkapan cerita dari sudut peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya atau masa lampau ke masa kini. Kutipan alur mundur pada cerpen ini:

- “Engkau tidak tahu  Mas, bagimana dimas kecil menggigil kedinginan di sudut sekolah, ketika aku telat menjemputnya! Engkau tidak tahu bagai mana Dini mogok sekolah karna diejek tanpa ayah! Engkau tidak tahu ketika Dimas sakit dan mengigau menyebut namamu! Engkau sudah pergi Sembilan tahun! Meninggalkanku dan anak-anak tanpa alasan. Mugkin engaku bosan hidup miskin, tapi keperianmu membuatku tegar. Aku melanjutkan kuliah yang terbengkalai sambil mengurur dua anak balita. Untung ada ibu yang selalu setia  membantu sampai aku lulus dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan swasta.”

b. Alur maju

Alur maju adalah pengungkapan cerita dari sudut peristiwa-peristiwa yang terjadi dari masa kini ke masa yang akan datang. Kutipan alur maju pada cerpen ini:

- ”Dio sudah TK, Salma baru tiga tahun anakmu gimana?” perempuan itu berceloteh tentang kelucuan anak-anaknya.”

- “Perempuan itu melongo tidak percaya menatapku tak berkedip. Aku segera meninggalkan kantin ia mencoba mengejar meraih tanganku, teriakan yang berkali-kali tidak lagi kudengarkan semakin lama teriakannya semakin lirih aku tetap melangkah menuju parkiran, sebuah taksi sejak tadi menungguku. Aku tidak boleh ketinggalan pesawat, anak-anak menunggu dirumah! Tidak perlu menunggu dan berharap laki-laki itu datang dan tinggal lagi di rumah kami. Aku sudah punya pekerjaan, anak-anak sudah mandiri. Yang harus kulakukan sekarang menabung dan mempersiapkan Dimas dan Dini menjadi manusia yang setia dan bertanggung jawab!”

f. Gaya Bahasa

(a) Paralelisme

Paralelisme merupakan gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa.

1) “Engkau tidak tahu Mas, bagaimana Dimas kecil menggigil sendirian di sudut sekolah, ketika aku telat menjemputnya! Engkau tidak tahu bagaimana dini mogok sekolah karena diejek temannya tanpa ayah! Engkau tidak tahu ketika Dimas sakit dan mengigau menyebut namamu! Engkau sudah pergi Sembilan tahun! Meninggalkanku dan anak anak tanpa alasan. Mungkin engkau bosan hidup miskin, tapi kepergianmu justru membuatku tegar.”

2) “….Belum menjambak rambutnya, belum menampar wajahnya, dan juga belum menendang bokongnya!”

3) “Rasanya terlalu mahal air mataku jatuh untuk perempuan perebut hati ini. Rasanya juga tidak pantas air mata dijatuhkan untuk mengingat laki laki yang tidak setia dan tidak bertanggung jawab.”

(b) Hiperbola

Hiperbola merupakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan suatu hal. 

1) “Segera kuhapus air mata yang masih mengenang itu.”

2) “Dalam hati aku berbisik, akulah perempuan yang telah engkau sakiti, perempuan yang harus banting tulang menghidupi dua anak.”

2. Unsur Ekstinsik Cerpen Perempuan Pengambil Hati

a. Nilai Ekonomi

Nilai ekonomi pada cerpen ini adalah kesulitah mencari nafkah untuk kedua anaknya yang bernama Dimas dan Dini yang sudah menginjak SMA dan SMP.

b. Nilai Politik

Nilai politik pada cerpen ini adalah  Mona meminta uang kepada mantan suaminya yang bernama yusuf  untuk pertanggung jawaban  biaya hidupnya selama sembilan tahun.

c. Nilai sosial

Nilai sosial pada cerpen ini adalah mona merasa iba melihat mantan suaminya hiup susah bersama istri barunya.



Baca juga :

Post a Comment

Jika ada yang masih kurang jelas, silahkan untuk bertanya pada kolom komentar di bawah ini atau dengan menghubungi kami di halaman kontak.

1. Centang kotak Notify me/Beri tahu saya untuk mendapatkan notifikasi komentar.
2. Semua komentar dengan menambahkan link akan dihapus dan tidak akan dipublikasikan.
© BLACK SCRIPTS. All rights reserved. Developed by Jago Desain